BIOGRAFI WALISONGO
"Walisongo"
berarti sembilan orang wali. Mereka adalah Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel,
Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Dradjad, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan
Muria, serta Sunan Gunung Jati. Mereka tidak hidup pada saat yang persis
bersamaan. Namun satu sama lain mempunyai keterkaitan erat, bila tidak dalam
ikatan darah juga dalam hubungan guru-murid.
Maulana
Malik Ibrahim yang tertua. Sunan Ampel anak Maulana Malik Ibrahim. Sunan Giri
adalah keponakan Maulana Malik Ibrahim yang berarti juga sepupu Sunan Ampel.
Sunan Bonang dan Sunan Drajad adalah anak Sunan Ampel. Sunan Kalijaga merupakan
sahabat sekaligus murid Sunan Bonang. Sunan Muria anak Sunan Kalijaga. Sunan
Kudus murid Sunan Kalijaga. Sunan Gunung Jati adalah sahabat para Sunan lain,
kecuali Maulana Malik Ibrahim yang lebih dahulu meninggal.
Mereka
tinggal di pantai utara Jawa dari awal abad 15 hingga pertengahan abad 16, di
tiga wilayah penting. Yakni Surabaya-Gresik-Lamongan di Jawa Timur,
Demak-Kudus-Muria di Jawa Tengah, serta Cirebon di Jawa Barat. Mereka adalah
para intelektual yang menjadi pembaharu masyarakat pada masanya. Mereka
mengenalkan berbagai bentuk peradaban baru: mulai dari kesehatan, bercocok
tanam, niaga, kebudayaan dan kesenian, kemasyarakatan hingga
pemerintahan.
Pesantren
Ampel Denta dan Giri adalah dua institusi pendidikan paling penting di masa
itu. Dari Giri, peradaban Islam berkembang ke seluruh wilayah timur Nusantara.
Sunan Giri dan Sunan Gunung Jati bukan hanya ulama, namun juga pemimpin
pemerintahan. Sunan Giri, Bonang, Kalijaga, dan Kudus adalah kreator karya seni
yang pengaruhnya masih terasa hingga sekarang. Sedangkan Sunan Muria adalah
pendamping sejati kaum jelata.
Era
Walisongo adalah era berakhirnya dominasi Hindu-Budha dalam budaya Nusantara
untuk digantikan dengan kebudayaan Islam. Mereka adalah simbol penyebaran Islam
di Indonesia. Khususnya di Jawa. Tentu banyak tokoh lain yang juga berperan.
Namun peranan mereka yang sangat besar dalam mendirikan Kerajaan Islam di Jawa,
juga pengaruhnya terhadap kebudayaan masyarakat secara luas serta dakwah secara
langsung, membuat "sembilan wali" ini lebih banyak disebut dibanding
yang lain.
Masing-masing
tokoh tersebut mempunyai peran yang unik dalam penyebaran Islam. Mulai dari Maulana
Malik Ibrahim yang menempatkan diri sebagai "tabib" bagi Kerajaan
Hindu Majapahit; Sunan Giri yang disebut para kolonialis sebagai "paus
dari Timur" hingga Sunan Kalijaga yang mencipta karya kesenian dengan
menggunakan nuansa yang dapat dipahami masyarakat Jawa -yakni nuansa Hindu dan
Budha.
1. Sunan Gresik (Maulana Malik Ibrahim)
Agama Islam
menyebar di bumi nusantara dikabarkan dilakukan oleh para ulama yang kemudian
dianugrahi gelar Wali Songo. Dan Sunan Gresik atau Maulana Malik Ibrahim adalah
sosok ulama pertama yang diberi gelar sebagai Wali Songo. Sunan Gresik atau
Maulana Malik Ibrahim (w. 1419 M/882 H) adalah nama salah seorang Walisongo,
yang dianggap yang pertama kali menyebarkan agama Islam di tanah Jawa. Ia
dimakamkan di desa Gapura, kota Gresik, Jawa Timur.
Tidak
terdapat bukti sejarah yang meyakinkan mengenai asal keturunan Maulana Malik
Ibrahim, meskipun pada umumnya disepakati bahwa ia bukanlah orang Jawa asli.
Sebutan Syekh Maghribi yang diberikan masyarakat kepadanya, kemungkinan
menisbatkan asal keturunannya dari Maghrib, atau Maroko di Afrika Utara.
Babad Tanah
Jawi versi J.J. Meinsma menyebutnya dengan nama Makhdum Ibrahim as-Samarqandy,
yang mengikuti pengucapan lidah Jawa menjadi Syekh Ibrahim Asmarakandi. Ia
memperkirakan bahwa Maulana Malik Ibrahim lahir di Samarkand, Asia Tengah, pada
paruh awal abad 14.
Dalam
keterangannya pada buku The History of Java mengenai asal mula dan perkembangan
kota Gresik, Raffles menyatakan bahwa menurut penuturan para penulis lokal,
“Mulana Ibrahim, seorang Pandita terkenal berasal dari Arabia, keturunan dari
Jenal Abidin, dan sepupu Raja Chermen (sebuah negara Sabrang), telah menetap
bersama para Mahomedans lainnya di Desa Leran di Jang’gala”.
Namun
demikian, kemungkinan pendapat yang terkuat adalah berdasarkan pembacaan J.P.
Moquette atas baris kelima tulisan pada prasasti makamnya di desa Gapura Wetan,
Gresik; yang mengindikasikan bahwa ia berasal dari Kashan, suatu tempat di Iran
sekarang.
Terdapat
beberapa versi mengenai silsilah Maulana Malik Ibrahim. Ia pada umumnya
dianggap merupakan keturunan Rasulullah SAW; melalui jalur keturunan Husain bin
Ali, Ali Zainal Abidin, Muhammad al-Baqir, Ja’far ash-Shadiq, Ali al-Uraidhi,
Muhammad al-Naqib, Isa ar-Rumi, Ahmad al-Muhajir, Ubaidullah, Alwi Awwal,
Muhammad Sahibus Saumiah, Alwi ats-Tsani, Ali Khali’ Qasam, Muhammad Shahib
Mirbath, Alwi Ammi al-Faqih, Abdul Malik (Ahmad Khan), Abdullah (al-Azhamat)
Khan, Ahmad Syah Jalal, Jamaluddin Akbar al-Husain (Maulana Akbar), dan Maulana
Malik Ibrahim.
Penyebaran Agama
Maulana
Malik Ibrahim dianggap termasuk salah seorang yang pertama-tama menyebarkan
agama Islam di tanah Jawa, dan merupakan wali senior diantara para Walisongo
lainnya.
Beberapa
versi babad menyatakan bahwa kedatangannya disertai beberapa orang. Daerah yang
ditujunya pertama kali ialah desa Sembalo, sekarang adalah daerah Leran,
Kecamatan Manyar, yaitu 9 kilometer ke arah utara kota Gresik. Ia lalu mulai
menyiarkan agama Islam di tanah Jawa bagian timur, dengan mendirikan mesjid
pertama di desa Pasucinan, Manyar.
Pertama-tama
yang dilakukannya ialah mendekati masyarakat melalui pergaulan. Budi bahasa
yang ramah-tamah senantiasa diperlihatkannya di dalam pergaulan sehari-hari. Ia
tidak menentang secara tajam agama dan kepercayaan hidup dari penduduk asli, melainkan
hanya memperlihatkan keindahan dan kabaikan yang dibawa oleh agama Islam.
Berkat keramah-tamahannya, banyak masyarakat yang tertarik masuk ke dalam agama
Islam.
Sebagaimana
yang dilakukan para wali awal lainnya, aktivitas pertama yang dilakukan Maulana
Malik Ibrahim ialah berdagang. Ia berdagang di tempat pelabuhan terbuka, yang
sekarang dinamakan desa Roomo, Manyar.
Perdagangan
membuatnya dapat berinteraksi dengan masyarakat banyak, selain itu raja dan
para bangsawan dapat pula turut serta dalam kegiatan perdagangan tersebut
sebagai pelaku jual-beli, pemilik kapal atau pemodal.
Setelah
cukup mapan di masyarakat, Maulana Malik Ibrahim kemudian melakukan kunjungan
ke ibukota Majapahit di Trowulan. Raja Majapahit meskipun tidak masuk Islam
tetapi menerimanya dengan baik, bahkan memberikannya sebidang tanah di
pinggiran kota Gresik. Wilayah itulah yang sekarang dikenal dengan nama desa
Gapura. Cerita rakyat tersebut diduga mengandung unsur-unsur kebenaran;
mengingat menurut Groeneveldt pada saat Maulana Malik Ibrahim hidup, di ibukota
Majapahit telah banyak orang asing termasuk dari Asia Barat.
Demikianlah,
dalam rangka mempersiapkan kader untuk melanjutkan perjuangan menegakkan
ajaran-ajaran Islam, Maulana Malik Ibrahim membuka pesantren-pesantren yang merupakan
tempat mendidik pemuka agama Islam di masa selanjutnya. Hingga saat ini
makamnya masih diziarahi orang-orang yang menghargai usahanya menyebarkan agama
Islam berabad-abad yang silam. Setiap malam Jumat Legi, masyarakat setempat
ramai berkunjung untuk berziarah.
Ritual
ziarah tahunan atau haul juga diadakan setiap tanggal 12 Rabi’ul Awwal, sesuai
tanggal wafat pada prasasi makamnya. Pada acara haul biasa dilakukan khataman
Al-Quran, mauludan (pembacaan riwayat Nabi Muhammad), dan dihidangkan makanan
khas bubur harisah.
Legenda Rakyat
Menurut
legenda rakyat, dikatakan bahwa Maulana Malik Ibrahim berasal dari Persia.
Maulana Malik Ibrahim Ibrahim dan Maulana Ishaq disebutkan sebagai anak dari
Maulana Jumadil Kubro, atau Syekh Jumadil Qubro. Maulana Ishaq disebutkan
menjadi ulama terkenal di Samudera Pasai, sekaligus ayah dari Raden Paku atau
Sunan Giri. Syekh Jumadil Qubro dan kedua anaknya bersama-sama datang ke pulau
Jawa. Setelah itu mereka berpisah; Syekh Jumadil Qubro tetap di pulau Jawa,
Maulana Malik Ibrahim ke Champa, Vietnam Selatan; dan adiknya Maulana Ishak
mengislamkan Samudera Pasai.
Maulana
Malik Ibrahim disebutkan bermukim di Champa (dalam legenda disebut sebagai
negeri Chermain atau Cermin) selama tiga belas tahun. Ia menikahi putri raja
yang memberinya dua putra; yaitu Raden Rahmat atau Sunan Ampel dan Sayid Ali
Murtadha atau Raden Santri. Setelah cukup menjalankan misi dakwah di negeri
itu, ia hijrah ke pulau Jawa dan meninggalkan keluarganya. Setelah dewasa,
kedua anaknya mengikuti jejaknya menyebarkan agama Islam di pulau Jawa.
Maulana
Malik Ibrahim dalam cerita rakyat terkadang juga disebut dengan nama Kakek
Bantal. Ia mengajarkan cara-cara baru bercocok tanam. Ia merangkul masyarakat
bawah, dan berhasil dalam misinya mencari tempat di hati masyarakat sekitar
yang ketika itu tengah dilanda krisis ekonomi dan perang saudara.
Selain itu,
ia juga sering mengobati masyarakat sekitar tanpa biaya. Sebagai tabib,
diceritakan bahwa ia pernah diundang untuk mengobati istri raja yang berasal
dari Champa. Besar kemungkinan permaisuri tersebut masih kerabat istrinya.
Wafat
Setelah
selesai membangun dan menata pondokan tempat belajar agama di Leran, tahun 1419
Maulana Malik Ibrahim wafat. Makamnya kini terdapat di desa Gapura Wetan,
Gresik, Jawa Timur. Saat ini, jalan yang menuju ke makam tersebut diberi nama
Jalan Malik Ibrahim.
2. Sunan Ampel
Ia
dilahirkan tahun 1401 Masehi di Champa.Para ahli kesulitan untuk menentukan
Champa disini, sebab belum ada pernyataan tertulis maupun prasasti yang
menunjukkan Champa di Malaka atau kerajaan Jawa. Saifuddin Zuhri (1979)
berkeyakinan bahwa Champa adalah sebutan lain dari Jeumpa dalam bahasa Aceh,
oleh karena itu Champa berada dalam wilayah kerejaan Aceh. Hamka (1981)
berpendapat sama, kalau benar bahwa Champa itu bukan yang di Annam Indo Cina,
sesuai Enscyclopaedia Van Nederlandsch Indie, tetapi di Aceh.
Ayah Sunan
Ampel atau Raden Rahmat bernama Maulana Malik Ibrahim atau Maulana Maghribi,
yang kemudian dikenal dengan sebutan Sunan Gresik. Ibunya bernama Dewi
Chandrawulan, saudara kandung Putri Dwarawati Murdiningrum, ibu Raden Fatah,
istri raja Majapahit Prabu Brawijaya V. Istri Sunan Ampel ada dua yaitu: Dewi
Karimah dan Dewi Chandrawati. Dengan istri pertamanya, Dewi Karimah, dikaruniai
dua orang anak yaitu: Dewi Murtasih yang menjadi istri Raden Fatah (sultan
pertama kerajaan Islam Demak Bintoro) dan Dewi Murtasimah yang menjadi
permaisuri Raden Paku atau Sunan Giri. Dengan Istri keduanya, Dewi Chandrawati,
Sunan Ampel memperoleh lima orang anak, yaitu: Siti Syare’at, Siti Mutmainah,
Siti Sofiah, Raden Maulana Makdum, Ibrahim atau Sunan Bonang, serta Syarifuddin
atau Raden Kosim yang kemudian dikenal dengan sebutan Sunan Drajat atau
kadang-kadang disebut Sunan Sedayu.
Sunan Ampel
dikenal sebagai orang yang berilmu tinggi dan alim, sangat terpelajar dan
mendapat pendidikan yang mendalam tentang agama Islam. Sunan Ampel juga dikenal
mempunyai akhlak yang mulia, suka menolong dan mempunyai keprihatinan sosial
yang tinggi terhadap masalah-masalah sosial.
3. Sunan Giri
Sunan Giri
adalah nama salah seorang Walisongo dan pendiri kerajaan Giri Kedaton, yang
berkedudukan di daerah Gresik, Jawa Timur. Ia lahir di Blambangan tahun 1442.
Sunan Giri memiliki beberapa nama panggilan, yaitu Raden Paku, Prabu Satmata,
Sultan Abdul Faqih, Raden 'Ainul Yaqin dan Joko Samudra. Ia dimakamkan di desa
Giri, Kebomas, Gresik.
Silsilah
Beberapa
babad menceritakan pendapat yang berbeda mengenai silsilah Sunan Giri. Sebagian
babad berpendapat bahwa ia adalah anak Maulana Ishaq, seorang mubaligh yang
datang dari Asia Tengah. Maulana Ishaq diceritakan menikah dengan Dewi
Sekardadu, yaitu putri dari Menak Sembuyu penguasa wilayah Blambangan pada
masa-masa akhir kekuasaan Majapahit.
Pendapat
lainnya yang menyatakan bahwa Sunan Giri juga merupakan keturunan Rasulullah
SAW; yaitu melalui jalur keturunan Husain bin Ali, Ali Zainal Abidin, Muhammad
al-Baqir, Ja'far ash-Shadiq, Ali al-Uraidhi, Muhammad al-Naqib, Isa ar-Rummi,
Ahmad al-Muhajir, Ubaidullah, Alwi Awwal, Muhammad Sahibus Saumiah, Alwi
ats-Tsani, Ali Khali' Qasam, Muhammad Shahib Mirbath, Alwi Ammi al-Faqih, Abdul
Malik (Ahmad Khan), Abdullah (al-Azhamat) Khan, Ahmad Syah Jalal (Jalaluddin
Khan), Jamaluddin Akbar al-Husaini (Maulana Akbar), Maulana Ishaq, dan 'Ainul
Yaqin (Sunan Giri). Umumnya pendapat tersebut adalah berdasarkan riwayat
pesantren-pesantren Jawa Timur, dan catatan nasab Saadah Ba Alawi Hadramaut.
Kisah
Sunan Giri
merupakan buah pernikahan dari Maulana Ishaq, seorang mubaligh Islam dari Asia
Tengah, dengan Dewi Sekardadu, putri Menak Sembuyu penguasa wilayah Blambangan
pada masa-masa akhir Majapahit. Namun kelahirannya dianggap telah membawa
kutukan berupa wabah penyakit di wilayah tersebut. Dipaksa untuk membuang
anaknya, Dewi Sekardadu menghanyutkannya ke laut.
Kemudian,
bayi tersebut ditemukan oleh sekelompok awak kapal (pelaut) dan dibawa ke
Gresik. Di Gresik, dia diadopsi oleh seorang saudagar perempuan pemilik kapal,
Nyai Gede Pinatih. Karena ditemukan di laut, dia menamakan bayi tersebut Joko
Samudra.
Ketika sudah
cukup dewasa, Joko Samudra dibawa ibunya ke Surabaya untuk belajar agama kepada
Sunan Ampel. Tak berapa lama setelah mengajarnya, Sunan Ampel mengetahui
identitas sebenarnya dari murid kesayangannya itu. Kemudian, Sunan Ampel
mengirimnya dan Makdhum Ibrahim (Sunan Bonang), untuk mendalami ajaran Islam di
Pasai. Mereka diterima oleh Maulana Ishaq yang tak lain adalah ayah Joko
Samudra. Di sinilah, Joko Samudra, yang ternyata bernama Raden Paku, mengetahui
asal-muasal dan alasan mengapa dia dulu dibuang.
Dakwah dan kesenian
Setelah tiga
tahun berguru kepada ayahnya, Raden Paku atau lebih dikenal dengan Raden 'Ainul
Yaqin kembali ke Jawa. Ia kemudian mendirikan sebuah pesantren giri di sebuah
perbukitan di desa Sidomukti, Kebomas. Dalam bahasa Jawa, giri berarti gunung.
Sejak itulah, ia dikenal masyarakat dengan sebutan Sunan Giri.
Pesantren
Giri kemudian menjadi terkenal sebagai salah satu pusat penyebaran agama Islam
di Jawa, bahkan pengaruhnya sampai ke Madura, Lombok, Kalimantan, Sulawesi, dan
Maluku. Pengaruh Giri terus berkembang sampai menjadi kerajaan kecil yang
disebut Giri Kedaton, yang menguasai Gresik dan sekitarnya selama beberapa
generasi sampai akhirnya ditumbangkan oleh Sultan Agung.
Terdapat
beberapa karya seni tradisional Jawa yang sering dianggap berhubungkan dengan
Sunan Giri, diantaranya adalah permainan-permainan anak seperti Jelungan,
Lir-ilir dan Cublak Suweng; serta beberapa gending (lagu instrumental Jawa)
seperti Asmaradana dan Pucung.
4. Sunan Bonang
Ia anak
Sunan Ampel, yang berarti juga cucu Maulana Malik Ibrahim. Nama kecilnya adalah
Raden Makdum Ibrahim. Lahir diperkirakan 1465 M dari seorang perempuan bernama
Nyi Ageng Manila, puteri seorang adipati di Tuban.
Sunan Bonang
belajar agama dari pesantren ayahnya di Ampel Denta. Setelah cukup dewasa, ia
berkelana untuk berdakwah di berbagai pelosok Pulau Jawa. Mula-mula ia
berdakwah di Kediri, yang mayoritas masyarakatnya beragama Hindu. Di sana ia
mendirikan Masjid Sangkal Daha.
Ia kemudian
menetap di Bonang -desa kecil di Lasem, Jawa Tengah -sekitar 15 kilometer timur
kota Rembang. Di desa itu ia membangun tempat pesujudan/zawiyah sekaligus
pesantren yang kini dikenal dengan nama Watu Layar. Ia kemudian dikenal pula
sebagai imam resmi pertama Kesultanan Demak, dan bahkan sempat menjadi panglima
tertinggi. Meskipun demikian, Sunan Bonang tak pernah menghentikan kebiasaannya
untuk berkelana ke daerah-daerah yang sangat sulit.
Ia acap
berkunjung ke daerah-daerah terpencil di Tuban, Pati, Madura maupun Pulau
Bawean. Di Pulau inilah, pada 1525 M ia meninggal. Jenazahnya dimakamkan di
Tuban, di sebelah barat Masjid Agung, setelah sempat diperebutkan oleh
masyarakat Bawean dan Tuban.
Tak seperti
Sunan Giri yang lugas dalam fikih, ajaran Sunan Bonang memadukan ajaran
ahlussunnah bergaya tasawuf dan garis salaf ortodoks. Ia menguasai ilmu fikih,
usuludin, tasawuf, seni, sastra dan arsitektur. Masyarakat juga mengenal Sunan
Bonang sebagai seorang yang piawai mencari sumber air di tempat-tempat
gersang.
Ajaran Sunan
Bonang berintikan pada filsafat 'cinta'('isyq). Sangat mirip dengan
kecenderungan Jalalludin Rumi. Menurut Bonang, cinta sama dengan iman,
pengetahuan intuitif (makrifat) dan kepatuhan kepada Allah SWT atau haq al
yaqqin. Ajaran tersebut disampaikannya secara populer melalui media kesenian
yang disukai masyarakat. Dalam hal ini, Sunan Bonang bahu-membahu dengan murid
utamanya, Sunan Kalijaga.
Sunan Bonang
banyak melahirkan karya sastra berupa suluk, atau tembang tamsil. Salah satunya
adalah "Suluk Wijil" yang tampak dipengaruhi kitab Al Shidiq karya
Abu Sa'id Al Khayr (wafat pada 899). Suluknya banyak menggunakan tamsil cermin,
bangau atau burung laut. Sebuah pendekatan yang juga digunakan oleh Ibnu Arabi,
Fariduddin Attar, Rumi serta Hamzah Fansuri.
Sunan Bonang
juga menggubah gamelan Jawa yang saat itu kental dengan estetika Hindu, dengan
memberi nuansa baru. Dialah yang menjadi kreator gamelan Jawa seperti sekarang,
dengan menambahkan instrumen bonang. Gubahannya ketika itu memiliki nuansa
dzikir yang mendorong kecintaan pada kehidupan transedental (alam malakut).
Tembang "Tombo Ati" adalah salah satu karya Sunan Bonang.
Dalam pentas
pewayangan, Sunan Bonang adalah dalang yang piawai membius penontonnya.
Kegemarannya adalah menggubah lakon dan memasukkan tafsir-tafsir khas Islam.
Kisah perseteruan Pandawa-Kurawa ditafsirkan Sunan Bonang sebagai peperangan
antara nafi (peniadaan) dan 'isbah (peneguhan).
5. Sunan Drajat
Semasa muda
ia dikenal sebagai Raden Qasim, Qosim, atawa Kasim. Masih banyak nama lain yang
disandangnya di berbagai naskah kuno. Misalnya Sunan Mahmud, Sunan Mayang Madu,
Sunan Muryapada, Raden Imam, Maulana Hasyim, Syekh Masakeh, Pangeran
Syarifuddin, Pangeran Kadrajat, dan Masaikh Munat. Dia adalah putra Sunan Ampel
dari perkawinan dengan Nyi Ageng Manila, alias Dewi Condrowati. Empat putra Sunan
Ampel lainnya adalah Sunan Bonang, Siti Muntosiyah, yang dinikahi Sunan Giri,
Nyi Ageng Maloka, yang diperistri Raden Patah, dan seorang putri yang disunting
Sunan Kalijaga. Akan halnya Sunan Drajat sendiri, tak banyak naskah yang
mengungkapkan jejaknya.
Ada
diceritakan, Raden Qasim menghabiskan masa kanak dan remajanya di kampung
halamannya di Ampeldenta, Surabaya. Setelah dewasa, ia diperintahkan ayahnya,
Sunan Ampel, untuk berdakwah di pesisir barat Gresik. Perjalanan ke Gresik ini
merangkumkan sebuah cerita, yang kelak berkembang menjadi legenda.
Syahdan,
berlayarlah Raden Qasim dari Surabaya, dengan menumpang biduk nelayan. Di
tengah perjalanan, perahunya terseret badai, dan pecah dihantam ombak di daerah
Lamongan, sebelah barat Gresik. Raden Qasim selamat dengan berpegangan pada
dayung perahu. Kemudian, ia ditolong ikan cucut dan ikan talang –ada juga yang
menyebut ikan cakalang.
Dengan
menunggang kedua ikan itu, Raden Qasim berhasil mendarat di sebuah tempat yang
kemudian dikenal sebagai Kampung Jelak, Banjarwati. Menurut tarikh, persitiwa
ini terjadi pada sekitar 1485 Masehi. Di sana, Raden Qasim disambut baik oleh
tetua kampung bernama Mbah Mayang Madu dan Mbah Banjar.
Konon, kedua
tokoh itu sudah diislamkan oleh pendakwah asal Surabaya, yang juga terdampar di
sana beberapa tahun sebelumnya. Raden Qasim kemudian menetap di Jelak, dan
menikah dengan Kemuning, putri Mbah Mayang Madu. Di Jelak, Raden Qasim
mendirikan sebuah surau, dan akhirnya menjadi pesantren tempat mengaji ratusan
penduduk.
Jelak, yang
semula cuma dusun kecil dan terpencil, lambat laun berkembang menjadi kampung
besar yang ramai. Namanya berubah menjadi Banjaranyar. Selang tiga tahun, Raden
Qasim pindah ke selatan, sekitar satu kilometer dari Jelak, ke tempat yang
lebih tinggi dan terbebas dari banjir pada musim hujan. Tempat itu dinamai Desa
Drajat.
Namun, Raden
Qasim, yang mulai dipanggil Sunan Drajat oleh para pengikutnya, masih
menganggap tempat itu belum strategis sebagai pusat dakwah Islam. Sunan lantas
diberi izin oleh Sultan Demak, penguasa Lamongan kala itu, untuk membuka lahan
baru di daerah perbukitan di selatan. Lahan berupa hutan belantara itu dikenal
penduduk sebagai daerah angker.
Menurut
sahibul kisah, banyak makhluk halus yang marah akibat pembukaan lahan itu.
Mereka meneror penduduk pada malam hari, dan menyebarkan penyakit. Namun,
berkat kesaktiannya, Sunan Drajat mampu mengatasi. Setelah pembukaan lahan
rampung, Sunan Drajat bersama para pengikutnya membangun permukiman baru,
seluas sekitar sembilan hektare.
Atas petunjuk
Sunan Giri, lewat mimpi, Sunan Drajat menempati sisi perbukitan selatan, yang
kini menjadi kompleks pemakaman, dan dinamai Ndalem Duwur. Sunan mendirikan
masjid agak jauh di barat tempat tinggalnya. Masjid itulah yang menjadi tempat
berdakwah menyampaikan ajaran Islam kepada penduduk.
Sunan
menghabiskan sisa hidupnya di Ndalem Duwur, hingga wafat pada 1522. Di tempat
itu kini dibangun sebuah museum tempat menyimpan barang-barang peninggalan
Sunan Drajat –termasuk dayung perahu yang dulu pernah menyelamatkannya.
Sedangkan lahan bekas tempat tinggal Sunan kini dibiarkan kosong, dan
dikeramatkan.
Sunan Drajat
terkenal akan kearifan dan kedermawanannya. Ia menurunkan kepada para
pengikutnya kaidah tak saling menyakiti, baik melalui perkataan maupun perbuatan.
”Bapang den simpangi, ana catur mungkur,” demikian petuahnya. Maksudnya: jangan
mendengarkan pembicaraan yang menjelek-jelekkan orang lain, apalagi melakukan
perbuatan itu.
Sunan
memperkenalkan Islam melalui konsep dakwah bil-hikmah, dengan cara-cara bijak,
tanpa memaksa. Dalam menyampaikan ajarannya, Sunan menempuh lima cara. Pertama,
lewat pengajian secara langsung di masjid atau langgar. Kedua, melalui
penyelenggaraan pendidikan di pesantren. Selanjutnya, memberi fatwa atau petuah
dalam menyelesaikan suatu masalah.
Cara
keempat, melalui kesenian tradisional. Sunan Drajat kerap berdakwah lewat
tembang pangkur dengan iringan gending. Terakhir, ia juga menyampaikan ajaran
agama melalui ritual adat tradisional, sepanjang tidak bertentangan dengan
ajaran Islam.
Empat pokok
ajaran Sunan Drajat adalah: Paring teken marang kang kalunyon lan wuta; paring
pangan marang kang kaliren; paring sandang marang kang kawudan; paring payung
kang kodanan. Artinya: berikan tongkat kepada orang buta; berikan makan kepada
yang kelaparan; berikan pakaian kepada yang telanjang; dan berikan payung
kepada yang kehujanan.
Sunan Drajat
sangat memperhatikan masyarakatnya. Ia kerap berjalan mengitari perkampungan
pada malam hari. Penduduk merasa aman dan terlindungi dari gangguan makhluk
halus yang, konon, merajalela selama dan setelah pembukaan hutan. Usai salat
asar, Sunan juga berkeliling kampung sambil berzikir, mengingatkan penduduk
untuk melaksanakan salat magrib.
”Berhentilah
bekerja, jangan lupa salat,” katanya dengan nada membujuk. Ia selalu menelateni
warga yang sakit, dengan mengobatinya menggunakan ramuan tradisional, dan doa.
Sebagaimana para wali yang lain, Sunan Drajat terkenal dengan kesaktiannya.
Sumur Lengsanga di kawasan Sumenggah, misalnya, diciptakan Sunan ketika ia
merasa kelelahan dalam suatu perjalanan.
Ketika itu,
Sunan meminta pengikutnya mencabut wilus, sejenis umbi hutan. Ketika Sunan
kehausan, ia berdoa. Maka, dari sembilan lubang bekas umbi itu memancar air
bening –yang kemudian menjadi sumur abadi. Dalam beberapa naskah, Sunan Drajat
disebut-sebut menikahi tiga perempuan. Setelah menikah dengan Kemuning, ketika
menetap di Desa Drajat, Sunan mengawini Retnayu Condrosekar, putri Adipati
Kediri, Raden Suryadilaga.
Peristiwa
itu diperkirakan terjadi pada 1465 Masehi. Menurut Babad Tjerbon, istri pertama
Sunan Drajat adalah Dewi Sufiyah, putri Sunan Gunung Jati. Alkisah, sebelum
sampai di Lamongan, Raden Qasim sempat dikirim ayahnya berguru mengaji kepada
Sunan Gunung Jati. Padahal, Syarif Hidayatullah itu bekas murid Sunan Ampel.
Di kalangan
ulama di Pulau Jawa, bahkan hingga kini, memang ada tradisi ‘’saling
memuridkan”. Dalam Babad Tjerbon diceritakan, setelah menikahi Dewi Sufiyah,
Raden Qasim tinggal di Kadrajat. Ia pun biasa dipanggil dengan sebutan Pangeran
Kadrajat, atau Pangeran Drajat. Ada juga yang menyebutnya Syekh Syarifuddin.
Bekas
padepokan Pangeran Drajat kini menjadi kompleks perkuburan, lengkap dengan
cungkup makam petilasan, terletak di Kelurahan Drajat, Kecamatan Kesambi. Di
sana dibangun sebuah masjid besar yang diberi nama Masjid Nur Drajat. Naskah
Badu Wanar dan Naskah Drajat mengisahkan bahwa dari pernikahannya dengan Dewi
Sufiyah, Sunan Drajat dikaruniai tiga putra.
Anak tertua
bernama Pangeran Rekyana, atau Pangeran Tranggana. Kedua Pangeran Sandi, dan
anak ketiga Dewi Wuryan. Ada pula kisah yang menyebutkan bahwa Sunan Drajat
pernah menikah dengan Nyai Manten di Cirebon, dan dikaruniai empat putra.
Namun, kisah ini agak kabur, tanpa meninggalkan jejak yang meyakinkan.
Tak jelas,
apakah Sunan Drajat datang di Jelak setelah berkeluarga atau belum. Namun,
kitab Wali Sanga babadipun Para Wali mencatat: ”Duk samana anglaksanani,
mangkat sakulawarga….” Sewaktu diperintah Sunan Ampel, Raden Qasim konon
berangkat ke Gresik sekeluarga. Jika benar, di mana keluarganya ketika perahu
nelayan itu pecah? Para ahli sejarah masih mengais-ngais naskah kuno untuk
menjawabnya.
Beliau wafat
dan dimakamkan di desa Drajad, kecamatan Paciran Kabupaten Lamongan Jawa Timur.
Tak jauh dari makam beliau telah dibangun Museum yang menyimpan beberapa
peninggalan di jaman Wali Sanga. Khususnya peninggalan beliau di bidang
kesenian.
6. Sunan Kalijaga
Dialah
"wali" yang namanya paling banyak disebut masyarakat Jawa. Ia lahir
sekitar tahun 1450 Masehi. Ayahnya adalah Arya Wilatikta, Adipati Tuban
-keturunan dari tokoh pemberontak Majapahit, Ronggolawe. Masa itu, Arya
Wilatikta diperkirakan telah menganut Islam.
Nama kecil
Sunan Kalijaga adalah Raden Said. Ia juga memiliki sejumlah nama panggilan
seperti Lokajaya,Syekh Malaya, Pangeran Tuban atau Raden Abdurrahman.Terdapat
beragam versi menyangkut asal-usul nama Kalijaga yang disandangnya.
Masyarakat
Cirebon berpendapat bahwa nama itu berasal dari dusun Kalijaga di Cirebon.
Sunan Kalijaga memang pernah tinggal di Cirebon dan bersahabat erat dengan
Sunan Gunung Jati. Kalangan Jawa mengaitkannya dengan kesukaan wali ini untuk
berendam ('kungkum') di sungai (kali) atau "jaga kali". Namun ada
yang menyebut istilah itu berasal dari bahasa Arab "qadli dzaqa" yang
menunjuk statusnya sebagai "penghulu suci" kesultanan.
Masa hidup
Sunan Kalijaga diperkirakan mencapai lebih dari 100 tahun. Dengan demikian ia
mengalami masa akhir kekuasaan Majapahit (berakhir 1478), Kesultanan Demak,
Kesultanan Cirebon dan Banten, bahkan juga Kerajaan Pajang yang lahir pada 1546
serta awal kehadiran Kerajaan Mataram dibawah pimpinan Panembahan Senopati. Ia
ikut pula merancang pembangunan Masjid Agung Cirebon dan Masjid Agung Demak.
Tiang "tatal" (pecahan kayu) yang merupakan salah satu dari tiang
utama masjid adalah kreasi Sunan Kalijaga.
Dalam
dakwah, ia punya pola yang sama dengan mentor sekaligus sahabat dekatnya, Sunan
Bonang. Paham keagamaannya cenderung "sufistik berbasis salaf" -bukan
sufi panteistik (pemujaan semata). Ia juga memilih kesenian dan kebudayaan
sebagai sarana untuk berdakwah.
Ia sangat
toleran pada budaya lokal. Ia berpendapat bahwa masyarakat akan menjauh jika
diserang pendiriannya. Maka mereka harus didekati secara bertahap: mengikuti
sambil mempengaruhi. Sunan Kalijaga berkeyakinan jika Islam sudah dipahami,
dengan sendirinya kebiasaan lama hilang.
Maka ajaran
Sunan Kalijaga terkesan sinkretis dalam mengenalkan Islam. Ia menggunakan seni
ukir, wayang, gamelan, serta seni suara suluk sebagai sarana dakwah. Dialah
pencipta Baju takwa, perayaan sekatenan, grebeg maulud, Layang Kalimasada,
lakon wayang Petruk Jadi Raja. Lanskap pusat kota berupa Kraton, alun-alun
dengan dua beringin serta masjid diyakini sebagai karya Sunan Kalijaga.
Metode
dakwah tersebut sangat efektif. Sebagian besar adipati di Jawa memeluk Islam
melalui Sunan Kalijaga. Di antaranya adalah Adipati Padanaran, Kartasura,
Kebumen, Banyumas, serta Pajang (sekarang Kotagede - Yogya). Sunan Kalijaga
dimakamkan di Kadilangu -selatan Demak.
7. Sunan
Muria
Gaya
berdakwahnya banyak mengambil cara ayahnya, Sunan Kalijaga. Namun berbeda
dengan sang ayah, Sunan Muria lebih suka tinggal di daerah sangat terpencil dan
jauh dari pusat kota
untuk menyebarkan agama Islam. Bergaul dengan rakyat jelata, sambil mengajarkan
keterampilan-keterampilan bercocok tanam, berdagang dan melaut adalah
kesukaannya.
Sunan
Muria seringkali dijadikan pula sebagai penengah dalam konflik internal di
Kesultanan Demak (1518-1530), Ia dikenal sebagai pribadi yang mampu memecahkan
berbagai masalah betapapun rumitnya masalah itu. Solusi pemecahannya pun selalu
dapat diterima oleh semua pihak yang berseteru.
Sunan
Muria berdakwah dari Jepara, Tayu, Juana hingga sekitar Kudus dan Pati. Salah
satu hasil dakwahnya lewat seni adalah lagu Sinom dan Kinanti.
8. Sunan
Kudus
Nama
kecilnya Jaffar Shadiq. Ia putra pasangan Sunan Ngudung dan Syarifah (adik
Sunan Bonang), anak Nyi Ageng Maloka. Disebutkan bahwa Sunan Ngudung adalah
salah seorang putra Sultan di Mesir yang berkelana hingga di Jawa. Di
Kesultanan Demak, ia pun diangkat menjadi Panglima Perang.
Sunan
Kudus banyak berguru pada Sunan Kalijaga. Kemudian ia berkelana ke berbagai
daerah tandus di Jawa Tengah seperti Sragen, Simo hingga Gunung Kidul. Cara
berdakwahnya pun meniru pendekatan Sunan Kalijaga: sangat toleran pada budaya
setempat. Cara penyampaiannya bahkan lebih halus. Itu sebabnya para wali --yang
kesulitan mencari pendakwah ke Kudus yang mayoritas masyarakatnya pemeluk
teguh-menunjuknya.
Cara
Sunan Kudus mendekati masyarakat Kudus adalah dengan memanfaatkan simbol-simbol
Hindu dan Budha. Hal itu terlihat dari arsitektur masjid Kudus. Bentuk menara,
gerbang dan pancuran/padasan wudhu yang melambangkan delapan jalan Budha.
Sebuah wujud kompromi yang dilakukan Sunan Kudus.
Suatu
waktu, ia memancing masyarakat untuk pergi ke masjid mendengarkan tabligh-nya.
Untuk itu, ia sengaja menambatkan sapinya yang diberi nama Kebo Gumarang di
halaman masjid. Orang-orang Hindu yang mengagungkan sapi, menjadi simpati.
Apalagi setelah mereka mendengar penjelasan Sunan Kudus tentang surat Al
Baqarah yang berarti "sapi betina". Sampai sekarang, sebagian
masyarakat tradisional Kudus, masih menolak untuk menyembelih sapi.
Sunan
Kudus juga menggubah cerita-cerita ketauhidan. Kisah tersebut disusunnya secara
berseri, sehingga masyarakat tertarik untuk mengikuti kelanjutannya. Sebuah
pendekatan yang tampaknya mengadopsi cerita 1001 malam dari masa kekhalifahan
Abbasiyah. Dengan begitulah Sunan Kudus mengikat masyarakatnya.
Bukan
hanya berdakwah seperti itu yang dilakukan Sunan Kudus. Sebagaimana ayahnya, ia
juga pernah menjadi Panglima Perang Kesultanan Demak. Ia ikut bertempur saat
Demak, di bawah kepemimpinan Sultan Prawata, bertempur melawan Adipati Jipang,
Arya Penangsang.
9. Sunan
Gunung Jati
Semua itu hanya mengisyaratkan kekaguman masyarakat masa itu pada Sunan Gunung Jati. Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah diperkirakan lahir sekitar tahun 1448 M. Ibunya adalah Nyai Rara Santang, putri dari raja Pajajaran Raden Manah Rarasa. Sedangkan ayahnya adalah Sultan Syarif Abdullah Maulana Huda, pembesar Mesir keturunan Bani Hasyim dari Palestina.
Syarif
Hidayatullah mendalami ilmu agama sejak berusia 14 tahun dari para ulama Mesir.
Ia sempat berkelana ke berbagai negara. Menyusul berdirinya Kesultanan Bintoro
Demak, dan atas restu kalangan ulama lain, ia mendirikan Kasultanan Cirebon
yang juga dikenal sebagai Kasultanan Pakungwati.
Dengan
demikian, Sunan Gunung Jati adalah satu-satunya "wali songo" yang
memimpin pemerintahan. Sunan Gunung Jati memanfaatkan pengaruhnya sebagai putra
Raja Pajajaran untuk menyebarkan Islam dari pesisir Cirebon
ke pedalaman Pasundan atau Priangan.
Dalam
berdakwah, ia menganut kecenderungan Timur Tengah yang lugas. Namun ia juga
mendekati rakyat dengan membangun infrastruktur berupa jalan-jalan yang
menghubungkan antar wilayah.
Bersama
putranya, Maulana Hasanuddin, Sunan Gunung Jati juga melakukan ekspedisi ke
Banten. Penguasa setempat, Pucuk Umum, menyerahkan sukarela penguasaan wilayah
Banten tersebut yang kemudian menjadi cikal bakal Kesultanan Banten.
Pada
usia 89 tahun, Sunan Gunung Jati mundur dari jabatannya untuk hanya menekuni
dakwah. Kekuasaan itu diserahkannya kepada Pangeran Pasarean. Pada tahun 1568
M, Sunan Gunung Jati wafat dalam usia 120 tahun, di Cirebon (dulu Carbon). Ia
dimakamkan di daerah Gunung Sembung, Gunung Jati, sekitar 15 kilometer sebelum kota
Cirebon dari arah
barat.